Resign Part 1 - Antara Murid dan Guru




16 juli 2016

"Aneh sekali. Aku merasa sangat berbeda hari ini. Sepatu pantofel, baju seragam, membawa tas slempang berbahan kulit di pundak."


Itu yang kutulis di artikel “Hari pertama menjadi guru” di salah satu artikel di blog ini. Yahh... aku hanya ingin menunjukan, sejak kapan aku mengajar di Al Muttaqin.

3,5 tahun berlalu sangat cepat. Usiaku hari ini 22 tahun, itu artinya, aku sudah mengajar di SMA Al Muttaqin sejak berusia 19 tahun. Yeah.. 19 tahun. Setara dengan mahasiswa semester 3, hanya bedanya, aku baru lulus SMA.

Sejak awal, taruhannya selalu ada dua. Antara dihormati atau tidak dan didambakan atau disepelekan. Sejak awal, aku tahu betul dengan konsekwensi itu. Sebuah konsekwensi berat, mengingat, aku selalu tidak suka orang yang menyepelekan.

“Apa aku bisa?” Aku menantang diriku sendiri.

20 Agustus 2016

Hari pertama mengajar. Aku masih ingat sesuatu yang disebut dengan first impression—dalam kasus ini, siswa kepadaku. Aku ingin, penilaian mereka kepadaku langsung wahh... keren... atau yaa setidaknya menariklah. Hehe..

Maka hari pertama, perkenalan sekaligus pembukaan, kubuat “sepecah” mungkin. Aku ingin murid-muridku memperhatikan, tertarik, tertawa, dan tidak ada rasa canggung antara aku dan mereka. Kisah kenakalanku pas SMP selalu menjadi kisah andalan. Salam pembuka dengan suara lantang selalu menjadi pilihan. Aku selalu mencoba untuk menggugah jiwa-jiwa canggung agar berani bersuara.

Dan syukurlah, hari itu... 20 Agustus 2016, hari pertama aku masuk kelas sebagai guru. Aku keluar kelas dengan puas. Aku keluar ruangan dengan senyuman. Apa yang kuharapkan, akhirnya kudapatkan. :))

Di hari-hari selanjutnya, cerita selalu menjadi pembuka. Aku pernah menjadi siswa. Dan aku benar-benar tahu betapa membosankannya ketika guru yang masuk, langsung mengoceh tentang pelajaran. Yahh, walaupun aku tahu itu tidak baik, tapi harus kuakui, begitulah memang kenyataannya. Dan aku tidak ingin menjadi guru yang membosankan.

Entah karena mereka (murid-muridku) yang mudah akrab, atau karena pembawaanku ketika di kelas yang menarik, komunikasi antara kita berlanjut sampai keluar kelas. And i’m sure!

Diskusi dan sharing pengalaman adalah hal biasa yang sering kulakukan diluar pelajaran. Walaupun pada dasarnya, aku lebih banyak mendengar dari pada berbicara. Keluhan-keluhan kepada guru, teman, dan pelajaran juga sering mereka ceritakan. Entah dari mana semuanya bermula, cerita kepada ustadz Rihan ini terus berlanjut.
Menjadi hal yang biasa saat aku mendengar mereka bercerita tentang cinta. Cerita tentang dia yang sedang menyukai seseorang dan bertanya kepadaku harus bagaimana? Aku hanya tersenyum. Memberi  penjelasan berdasarkan pengalaman. Selalu memberikan pilihan dari pada suruhan.

Dalam kasus ini, lebih banyak siswi yang bercerita.

Kalo siswa, mereka lebih sering memulainya dengan menyapa. Sapaan-sapaan khas, candaan-candaan ringan yang perlahan tapi pasti, semakin mendekatkan. Berbuah menjadi obrolan dan berakhir dengan pertemanan.

Percaya atau tidak, kata “muridku, temanku” benar-benar kupraktekan. Mereka menjadi murid ketika di kelas, dan menjadi teman ketika di luar kelas. Gunung, pantai, air terjun, caffe, adalah tempat-tempat yang menjadi pilihan kami untuk menikmati kebersamaan.

Bahkan sampai detik aku saat ini akan pergi, kebiasaan bermain bersama murid masih saja kulakukan.

Selalu menyenangkan ketika bertemu mereka. Dimanapun. Kapanpun. Aku adalah guru sekaligus teman bagi mereka. Dan jika ada yang bertanya, How is my feeling?

I believe, you know how is my feeling.

Comments