Foto Tahun 2014 di Darul Fithroh - Bangunan kelas berlatarkan sawah dan Gunung Merapi - Merbabu |
Semuanya berawal dari hari itu. Hari dimana aku masih mengenakan pakaian putih abu-abu. Mari sejenak kita flashback ke tahun 2014. Saat perlahan tapi pasti, aku mulai menemukan jati diri dan mau dibawa kemana diri ini.
Tahun 2014, saat itu aku masih kelas 2 SMA di Pondok Pesantren Darul Fithroh. Bertempat di dusun Grajegan, Tawangsari, Sukoharjo, Jawa Tengah. Sekitar 1,5 jam perjalanan dari kota Solo. Darul Fithroh bukanlah pesantren mewah nan megah. Tapi hanya pesantren biasa yang memberiku banyak pelajaran berharga.
Pengakuan dan Kesetaraan
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, tepatnya kelas 3 SD, orang mulai memperlakukanku dengan cara yang berbeda. Yahh.. aku tahu penyebabnya. Saat itu aku kehilangan fungsi dari salah satu tanganku. Berawal dari kecelakaan, berakhir dengan kecacatan.
Baiklah, kumohon jangan turut prihatin. Kita kembali lagi ke cerita.
Dan sejak hari itu, semuanya berubah. Orang mulai memperlakukanku spesial, berbeda dengan orang lain. Aku selalu dianggap “lemah” oleh orang lain. Mereka selalu menyangka bahwa aku tidak bisa melakukannya. Padahal pada sebenarnya, aku ingin bisa. Dan aku pasti bisa!! Ingin sekali aku berteriak di depan wajah mereka, “aku tidak bisa bukan karena tanganku!! tapi karena ucapanmu, brengsek!!”
Tapi disana, di pesantren, aku diperlakukan sama. Tidak ada toleransi. Tidak ada keringanan. Kesalahan diganjar dengan hukuman. Itu sudah biasa bagi kami santri disana. Kami juga sadar itu adalah pendidikan. Dan yang membuatku semangat adalah;
“Yang merasa terlambat masuk ke masjid, maju ke depan!”
Aku dan beberapa temanku maju.
Dan saat pembina, kakak kelas, atau siapapun yang menghukum melihat wajahku dan semua orang yang maju, dia lantas berkata,“Ambil push-up 20x!” tanpa ada tambahan, “kecuali Rihan.” Maka disana aku benar-benar merasa menjadi manusia.
Awal dari sebuah Tujuan Hidup
Hari-hari yang kulewati berjalan normal. Aku pun merasa menjadi manusia normal (aku memang normal, hanya saja dulu orang menganggapku tidak normal –lemah karena tanganku.) maka aku tidak pernah lagi memikirkan kekuranganku sejak hari itu. Selama di pesantren, aku hanya fokus belajar. And i’m sure. I just focus to learn about anything.
Dan di sela-sela kesibukan belajar dan menghafal, ada seorang ustadz yang rajin sekali berbicara tentang cita-cita dan masa depan. “Antum kalo asal idup, itu kayak air! Ujung-ujungnya pasti ke laut. Ujung-ujungnya pasti mati. Antum gak berguna buat siapa-siapa. Hanya ngikutin arus tok!”
Aku menyimaknya dengan seksama.
“Coba antum, pas antum ngalir itu punya PLAN, punya CITA-CITA, pengen kemana? Apakah ngalir ke sawah, lantas menumbuhkan padi. Atau mengalir ke masjid, untuk dijadikan air wudhu, atau kemana?!”
“Hidup itu harus berguna. Inget, kalo antum Cuma idup asal idup, Cuma ngikutin arus, antum gak guna! Maka cobalah buat PLAN dan CITA-CITA yang tinggi! Setinggi-tingginya. Jangan takut gagal, jangan takut salah, toh ngimpi itu gak dilarang sama negara. Apalagi sama agama?!”
Dan disana, i’m thinking about that.
I’m thinking about, “what will i be?”
Masa lalu adalah masa depan
Sore itu, aku duduk di teras kelas samping masjid. Melihat matahari yang perlahan pergi. Meninggalkan lukisan indah dilangit. Sawah ratusan hektar, gunung merapi dan merbabu yang gagah berdiri jauh di depan menambah keindahan sore itu. Aku menghela napas.
Begitu tenang.
Fikiranku kembali terlempar ke masa lalu. Teringat sosok ibu yang berjuang sendirian. Teringat kisah ayah yang telah pergi duluan. Tentang perjuangan. Aku yang bangun pagi-pagi, mengantar makanan ke warung, mengantongi sedikit uang jajan tanpa mengeluh, berangkat sekolah, bermain, mengaji, lantas soreny mengambil kembali barang dagangan. Mengantongi uang hasil penjualan lalu memberikannya kepada ibu.
“Mah, yeuh...” ucapku polos. Langsung berlari keluar—karena teman-temanku sudah menunggu untuk bermain.
Sore itu aku tersenyum.
Ada perasaan pilu bercampur haru jika kembali mengingat hari itu. Semua tentang perjuangan.
And i’m thinking about it. “Aku yakin, orang dengan masalalu sepertiku pasti ada banyak sekali di luar sana. Aku tahu bagaimana rasanya ada di posisi mereka. Meski menguatkan, tapi itu tidaklah menyenangkan.”
“Entahlah... saat itu usiaku terlalu kecil untuk mengerti. Aku hanya bisa mengingatnya hari ini. Bahwa tidak semestinya orang merasakan apa yang kurasakan. Karena percayalah... itu tidaklah menyenangkan.”
Suara adzan berkumandang. Silulet warna merah memenuhi langit barat. Aku menghela napas, berdiri. Sudah kuputuskan, tujuan hidupku adalah untuk membantu orang-orang yang kesusahan.
Sebuah Pertanyaan
Sekarang kita kembali ke hari ini. Tahun 2019 dimana aku sekarang sudah menjadi seorang guru.
Aku kembali teringat dengan tujuan hidupku sore itu. Percaya atau tidak, itu mengakar kuat dalam hati. Terus terngiang-ngiang dalam diri. Menghasilkan sebuah pertanyaan.
Comments
Post a Comment