"Hidup adalah pilihan. Kondisimu saat ini adalah hasil dari pilihanmu di masa lalu. Dan kondisimu di masa depan adalah hasil dari pilihanmu hari ini."
Istikhoroh sudah kulakukan. Tekad dan keberanian sudah kukumpulkan. Kini saat yang paling mendebarkan. Aku akan melakukannya. Di artikel ini, akan kuceritakan semua yang terjadi di ruangan itu. Ruangan tempat atasanku bekerja. Ruang kepala sekolah.
Surat Pengunduran diri
Sudah 3 bulan file rahasia dengan extensi (.doc) yang di enskripsi password terbengkalai di halaman awal flashdiskku. Ya, aku sudah membuat surat pengunduran itu jauh-jauh hari. Bahkan saat aku masih ragu dengan keputusanku, aku sudah membuat surat itu.
Aku kembali menatap isi file rahasia itu setelah hampir 3 bulan tidak membukanya. Berkali-kali surat itu kubaca dengan seksama. Takut ada kata yang keliru. Khawatir ada kalimat yang tertinggal. Kemudian setelah kupastikan bahwa tidak ada lagi kalimat atau kata yang tertinggal, kursor di layar komputer ku arahkan ke tombol PRINT.
Klik.
Klik.
Sekejap kemudian, secarik kertas bertuliskan surat pengunduran diri sebagai headline keluar dari mesin printer. Aku menelan ludah. Ini sungguh pengalaman yang mendebarkan dalam hidupku.
Selesai dicetak, aku masih membaca ulang surat pengunduran diri itu. Bahkan sampai detik dimana aku mengetuk pintu ruang kepala sekolah, aku masih sempat untuk membaca untuk terakhir kalinya.
Drs. Jenal Al Purkon, M. Pd.
Siang itu seusai sholat dzuhur dan sholat sunnah, aku menghampirinya, berbisik pelan, “Pak, ada waktu kosong?”
“Ada apa Pak Rehan?” Jawabnya ramah seperti biasa.
Aku menelan ludah. Gugup sekali aku ketika itu. “Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan, Pak.”
Pak Jenal menatapku sebentar, lantas berkata, “Oh iya, setelah ini ke kantor saya aja. Nanti saya tunggu disana.” Ucapnya singkat sambil pamit pergi duluan.
Aku balas mengangguk, melambaikan tangan, untuk beberapa saat, aku masih berdiri termangu di tempat yang sama.
“Aku memang sudah gila!” umpatku dalam hati.
Kantor Kepala Sekolah
Kubuka isi amplop itu untuk terakhir kalinya. Memastikan bahwa surat itu sudah kumasukan dengan aman. Aku terus berjalan sampai tiba di depan kantor kepala sekolah. Dan hey... pintunya terbuka. Dan lihatlah, Pak Jenal bahkan sedang duduk sambil melihat keluar. Akhirnya pandangan kami bertemu.
“Assalamu’alaikum.” Ucapku sambil melempar senyum.
Orang yang di dalam tentu saja menjawab salamku. Balas senyum sambil mempersilahkanku untuk masuk dan duduk.
Aku pun mengangguk. Segera duduk berhadapan dengannya.
“Ada apa Pak Rehan?” Tanya Pak Jenal membuka sesi.
Aku menyeringai. Lidahku kelu untuk berkata-kata. Bingung juga mau memulainya dari mana. Sebagai ganti, aku hanya bisa menyodorkan kertas yang sejak tadi kupegang, “Ini Pak....”
Pak Jenal meraih suratku. Membuka amplop dan mengeluarkan isinya. Perlahan, dia kemudian membacanya. Lantas kemudian menatapku.
“Oh, Pak Rehan mau resign?” Ucapnya dengan nada santai. Kembali melipat surat yang tadi kuberikan. Seolah urusan resign ini merupakan perkara biasa.
Aku mengangguk sebagai jawaban.
“Kenapa?”
Maka mengalirlah penjelasan sepanjang 4 artikel (Resign part 1-4) di ruangan itu. Aku menjelaskannya sesingkat dan sepadat mungkin. Kujelaskan semua uneg-uneg, alasan dan perasaanku selama mengajar di SMA Al Muttaqin yang pada dasarnya, aku sangat menikmati zona ini. Zona yang kusebut sebagai zona terlarang. Zona nyaman.
“Saya hanya ingin keluar dari zona nyaman, Pak.” Aku mengakhiri penjelasan.
Jawaban Pak Kepala
“Yah baiklah...” Ucap Pak Jenal dengan nada sedikit lebih berat.
“Ini sudah menjadi keputusan Pak Rehan. Saya selaku kepala sekolah pada dasarnya tidak bisa untuk menghalangi atau membatasi gerak Pak Rehan. Karena itu memang hak Pak Rehan. Saya hanya bisa mendo’akan, semoga apa yang Pak Rehan kejar, semua yang Pak Rehan cita-citakan bisa tercapai di masa depan....”
“Aamiinn....” ucapku lirih sambil mengangguk kencang.
“Sebenarnya saya dari dulu mendorong Pak Rehan untuk kuliah... kuliah... tapi ya, mau gimana lagi. Ini juga sudah menjadi keputusan Pak Rehan. Kami mungkin—eh...” Pak Jenal memotong ucapannya sendiri. “bukan mungkin, kami pasti akan kehilangan ya, Pak Rehan hahaha” Dia tertawa renyah—dengan tawa khasnya.
Aku ikut tertawa. Dalam hati, aku selalu kagum dengan sosok yang satu ini. Entahlah... dia seperti punya aura yang memikat. Sosok yang menyenangkan menurutku.
“Dan satu lagi Pak Rehan ya...” Dia melanjutkan. Memotong lamunanku.
“Saya selaku kepala sekolah, mengucapkan banyak-banyak terimakasih atas semua jasa dan karya yang sudah Pak Rehan berikan untuk Al Muttaqin. Saya sungguh sangat mengapresiasi hal tersebut.”
Deg.
“Kemudian saya juga minta maaf ke Pak Rehan,... Jikalau ada kebijakan saya, yang mendzolimi Pak Rehan. Atau saya yang sering nyuruh ini-itu ke Pak Rehan, ya? Haha...”
Dia tertawa. Tapi sungguh dalam hati aku menangis. Tangis haru dan menyesal.
“Saya juga mewakili rekan guru yang lain, mohon maaf kalo ada tingkah laku, ucapan, atau perbuatan yang......”
Hanya Untuk Satu Hal
Aku sudah tidak peduli dengan ucapan selanjutnya. Mataku berkhianat. Dia malah mengeluarkan tangisan yang tadinya kusimpan dalam hati. Pecah. Benar-benar tak bisa kuhentikan. Bahkan saat dia selesai bicara dan masih bisa tertawa, lidahku masih kelu.
Dengan terbata-bata. Ending dari pertemuan hari itu adalah; aku meminta maaf atas semua kesalahanku. Hari itu, siang itu, waktu itu aku tidak menyebutkan kesalahanku apa. Tapi sungguh, puluhan kata maaf yang kuucapkan tanpa henti dengan linang air mata hanya kutujukan pada satu kesalahanku. Aku hanya meminta maaf untuk satu hal. Entah dia menyadarinya atau tidak, tapi aku hanya meminta maaf hanya untuk satu hal saja. Sungguh.
Pelajaran Hidup
Ini adalah pelajaran hidup yang kuterima dan kudapat dari sosok Pak Jenal. Seseorang yang selalu berhasil membuatku kagum dan tetap menghormatinya. Berikut pelajaran yang bisa kuambil
- Ramah kepada setiap orang. Jarang sekali dia bermuka masam. Selalu tersenyum saat ada yang menyapa. Menjawab dengan penuh wibawa tanpa perasaan merendahkan.
- Pendengar yang baik. Percaya atau tidak, manusia itu lebih butuh untuk di dengarkan dari pada mendengarkan. Dari sosoknya, aku belajar tentang caranya mendengarkan. Tidak peduli siapapun yang bicara, dia selalu mendengarkan dengan seksama. Tidak pernah menyela omongan orang dan dengan sabar menunggu orang di depannya berhenti bicara.
- Seni mendengarkan. Entahlah, tapi aku menyebutnya dengan seni. Karena Pak Jenal bukan sembarang mendengarkan. Tatapan mata yang teduh, posisi duduk yang menghadap ke lawan bicara, anggukan-anggukan sopan sebagai respon dan tanda bahwa dia mendengarkan. Semua orang mungkin bisa mendengar, tapi tidak semua orang melakukan hal yang sama dengannya.
- Pemimpin yang bijak. Ini akan saya bagi menjadi beberapa hal:
- Meminta maaf duluan. Dan ini bukan sembarang minta maaf, dia akui apa yang sekiranya menjadi sebuah kesalahan, dan dia ucapkan maaf dengan tulus.
- Berhati-hati terhadap hak orang lain. Resign adalah keputusanku, meski mungkin bisa saja beliau menghalangi, tapi nyatanya tidak sama sekali.
- Tawa sopan. Entahlah, tapi bagiku itu menenangkan. Dia selalu mengakhiri perkataan yang sensitif dengan tawa sopan. Entah apa maksudnya, tapi sekali lagi, bagiku itu menenangkan.
Comments
Post a Comment